Dulu, banget. Jaman anak milenial masih kicik, ada masanya beberapa orang ‘terpilih’ punya hobi menulis di buku ‘dear diary’.
Diary ini biasanya bersifat rahasia, bahkan kadang ada yang menjual buku diary yang bisa dikunci gembok. Saking rahasianya. Karena isinya biasanya curhatan tentang apa yang terjadi hari itu, apa yang dirasakan, lagi naksir siapa, lagi benci siapa, dan banyak rahasia-rahasia kecil yg tersimpan dan hanya penulis dan bukunya saja yang tahu.
Tapi ia yg memiliki hobi itu tetap senang melakukannya meski tidak mendapat pengakuan atau likes dari orang lain.
How come?
Karena, berbeda dengan sekarang, dimana seolah semuanya harus dibagikan di sosial media dan semua harus tahu. Privasi makin terasa asing.
Kadarnya, ada yang biasa aja. Ada juga yang seekstrim bahwa aib keluargapun mesti dipublikasi di sosial medianya. Demi viral. Demi mendapat pengakuan. Demi dikenal banyak orang.
Alasannya jelas. Senang karena merasa diakui orang lain. Bahkan, ujung-ujungnya duit.
Kalo aku, sebagai manusia milenial, paham betul bagaimana perasaan senang ketika menulis di buku diary atau jurnal. Rasa lega karena udah bisa mengeluarkan unek-unek sebebas mungkin, ga mesti takut atau malu diketahui orang lain. Punya dokumentasi yang suatu saat di masa depan bisa dibaca kembali.
Somehow, Itu—sudah—cukup.
Tapi, akupun sebagai generasi pengguna Instagram sejak jaman komuniti hingga sekarang, juga paham kenapa senang kalo mendapat likes atau bertambah jumlah followers.
Singkatnya, aku adalah seperti netizen lainnya yang juga suka kalo dapet likes dan difollow. Tapi sekarang.. ada kerinduan melakukan sesuatu yg disuka atas nama suka aja, ga mesti diketahui orang, ga perlu pengakuan.
Tadi pun, sebelum menulis di substack ini, aku udah edit foto untuk aku share di instagram stories, tapi ketika mau aku share, malah ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak.
”Buat apa? isinya pun ga jelas. Hanya foto, ga life event updates juga.
mau menyampaikan apa? ke siapa?”
Karena menurutku, kalo yang namanya di post ke sosial media, mau ga mau, ngelak ataupun engga, pasti ujungnya sama, ingin diketahui orang, mendapat respon, ingin ditanya, ingin diakui eksistensinya.
Ga salah sama sekali, normalnya hari ini memang begitu.
Masalahnya, apa yang akan terjadi ketika ga ada satupun yang merespon apapun yang kamu post? kecewa kah? merasa gagal kah? atau gimana?
Karena, kalo aku disuruh memilih, aku ingin melakukan sesuatu karena suka aja, and that’s all. Senengnya tetep dapet. Kalopun ada respon orang, anggap bonus menyenangkan aja.
Perasaan itulah yang selalu kudapat kalo menulis di platform blog. Karena meski tetap ada sedikit pengharapan dibaca orang dan mendapat komentar juga likes, tapi karena aku tahu kalo blog itu biasanya sepi, so.. the top reason why i write on the blog adalah karena suka aja, karena seneng bisa baca tulisan sendiri di halaman website, lengkap dengan foto-fotonya.
Maybe, i should blog more. here and there